Posted by : BlogMe Minggu, 02 Juni 2013

1.    Penanggulangan Global
The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime, dimana pada tahun 1986 OECD telah memublikasikan laporannya yang berjudul Computer-Related Crime : Analysis of Legal Policy.
Menurut OECD, beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah :
1.   Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya.
2.   Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.
3.   Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya  pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan  cybercrime.
4.   Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya  mencegah kejahatan tersebut terjadi.
5.   Meningkatkan kerjasama antarnegara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime.
  
2.    Ketentuan Hukum Pidana / UU Cyber Crime Di Indonesia
Pemerintah tidak tinggal diam dalam mengatasi kejahan di dunia maya ada berapa Ketentuan hukum pidana di Indonesia yang berlaku.  Saat ini telah lahir Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut Undang-Undang ITE) yang di dalamnya mengatur berbagai aktivitas yang dilakukan dan terjadi di dunia maya (cyberspace), termasuk pelanggaran hukum yang terjadi. Namun demikian belum dapat memadai dalam kaitannya dengan pembuktian pada kasus-kasus cybercrime. Ada beberapa masalah yang muncul antara lain bagaimana proses pembuktian dan kekuatan hukum pembuktian secara elektronik dihubungkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Berdasarkan analisis hukum, ditarik simpulan bahwa Proses pembuktian yang dapat dilakukan atas perkara cybercrime sama dengan pembuktian pada perkara pidana biasa, menggunakan alat-alat bukti elektronik di samping alat-alat bukti lainnya yang diajukan memiliki keabsahan secara hukum, dalam hal ini didasarkan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku saat ini, yakni Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP serta Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pembuktian secara elektronik menggunakan alat-alat bukti elektronik seperti informasi dan atau dokumen elektronik, yang dilakukan pada perkara-perkara cybercrime memiliki kekuatan hukum yang sama dengan proses pembuktian pada perkara pidana biasa, berdasarkan ketentuan hukum acara pidana khususnya Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP serta Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

3.    Sanksi Pidana Kejahatan Cyber Sabotage
Penyerangan terhadap sistem komputer dapat dilakukan seseorang tanpa harus menerobos masuk ke dalamnya. Ia dengan mudah dapat merusak, mencuri atau mengintip data, program maupun sistem tanpa harus melanggar hukum yang melarangnya mengakses satu sistem tanpa izin. Ini dilakukan dengan menciptakan suatu program penyerang.
Inilah yang dikenal dengan virus, worm atau Trojan. Kerap kali serangan dengan program justru lebih fatal akibatnya dibandingkan dengan serangan langsung. Ini karena program penyerang tersebut mampu menggandakan diri secara otomatis, menginfeksi sistem jaringan dan menyebar dengan cepat melalui jaringan internet. Serangan virus atau worm sampai hari ini masih menjadi problem masalah utama para pakar keamanan jaringan. Dan problem ini tidak akan pernah ada habisnya.
Oleh karena itu UU ITE mengantisipasi perbuatan pengganguan melalui cara seperti ini dengan merumuskannya dalam Pasal 33 yang menentukan :
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Dalam hal sanksi pidana terhadap Pasal 33 ditentukan oleh Pasal 49 yang menetukan :
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Dalam pasal 33 ini menjelaskan bahwa yang menjadi sasaran adalah sistem elektronik juga harus diperhatikan bahwa akibat tindakan tersebut yang berupa terganggunya sistem elektronik yang menjadi sasarannya, haruslah terjadi. Konsekuensi yang demikian itu adalah karena tindak pidana dalam pasal ini dirumuskan sebagai tindak pidana materiil. Artinya, hanya dapat dipidana apabila akibat perbuatan pelaku telah terjadi. Di dalam praktek, gangguan yang terjadi terhadap sistem elektronik itu adalah berupa tidak bekerjanya atau berfungsinya sistem elektronik tersebut sebagaimana mestinya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © August IT - August8 - Powered by Blogger - Designed by August Permadi -